:::: MENU ::::
  • KAJIAN TAFSIR

  • KAJIAN UMUM

Seringkali kita menganggap bahwa media adalah subjek sedangkan kita adalah objek. Sehingga berdampak buruk pada kehidupan. Kita mudah dikendalikan, diarahkan dan diatur-atur oleh media. waktu kita habis di media. Perilaku seperti ini, akan berdampak pula pada kesehatan, kepribadian, kehidupan sosial, menurunkan produktifitas, termakan hoax, terkena gelombang pornografi, dan lain sebagainya. Saya yakin, pakar komunikasi sekalupun akan berpendapat demikian.
Sebenarnya jikalau cara berpikir kita balik, seperti halnya yang dilakukan oleh Gus Baha’, bahwa sejatinya kita adalah subjek, dan media sebagai objek. Maka yang terjadi adalah sebaliknya. Sebab logika warasnya, medialah yang bergantung kepada kita, bukan kita yang bergantung pada mereka. Faktanya media takut kehilangan pengguna, tv takut kehilangan pemirsa, koran akan takut kehilangan pembaca. Dengan memposikan diri sebagai subjek, maka media yang kita atur untuk sebesar-besar kemanfaatan kita. Jika demikian, maka yang terjadi adalah dampak positif, bukan negative.
Begitulah cara berpikir terbalik Gus Baha’. Namun jika kita merasa khawatir lebih banyak madlorotnya, maka langkah meninggalkan adalah langkah yang tepat, minimal menguranginya. Seperti yang beliau lakukan.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”. Atau sadzzan lidzzaroi’ (kalau rawan berbahaya ya nggak usah).
Kita tahu bahwa beliau tidak memiliki akun media sosial, ataupun official sekalipun. Video, Quote, artikel, yang beredar di medsos selama ini bukan dari beliau, tetapi dari para muhibbinnya. Ini salah satu cara menghadapi hegemoni barat, atau derasnya serangan media di jaman ini. Kata beliau, “ya sudah, kalau tidak punya kan tidak keserang, makanya saya nggak punya. Orang merasa susah adanya gelombang pornografi kan karena melihat”, sesimpel iitu.
Gus Baha’ memposisikan sebagai subjek dari media. “Saya melihat, bahwa kita ini sudah subjek bukan objek, karena setahu saya, santri-santri itu menghapalkan alfiah (Kitab Nahwu/Tata Bahasa Arab) capek, terus memanfaatkan lihat sinetron, jadi mereka (tv) alat untuk kita terhibur, bukan kita diperalat sinetron, tapi kita memperalat sinetron”. “Jadi, kita yang mengatur tv, kita yang memainkan mereka, wong yang pegang remot kita”.
Namun begitu beliau tidak menafikan bahwa media dari dulu seperti itu, (Berbahaya). Gus Baha’ bercerita “Dulu, Bani Tamim datang ke Rasulullah, dan berkata: ”Ya Muhammad kita-kita iman tanpa dijajah Anda, kita iman bukan kalah perang, dan kita komunitas yang besar, sehingga perlakukan kami dengan khusus, maka sekali kita memuji Anda, maka pujian kita menjadi zainun Makkah, menjadi hiasan, menjadi pencitraan yang bagus bagi anda. Dan sekali kita mengkritik kamu, maka kamu dalam bahaya, maka kamu akan hina”. Tetapi apa jawab Rasulullah, enak saja jawab Beliau, “Dzaka Allah, kita-kita ini orang beriman, kalau dikritik media ya tenang saja, yang penting ‘Indallah benar”.
Satu hal lagi terkait menyikapi media (berita/informasi) ada hal-hal yang perlu kita sikapi, tetapi ada pula yang tidak. Pun pula, apapun medianya jika membawa informasi kebenaran, kita terima, bila tidak, kita tolak. Jadi, Ini zaman tidak bisa dilawan, tapi bisa kita kendalikan dan kita manfaatkan, dengan memposisikan diri sebagai subjek, bukan objek. Minimal mendiamkan.

TRANSKRIP : Izzuddin Abdurrahim Adnan

GUS BAHA' : TIPS & TRIK GUS BAHA' MENYIKAPI MEDSOS
SELENGKAPNYA KLIK LINK DI BAWAH 

0 komentar:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us