:::: MENU ::::
  • KAJIAN TAFSIR

  • KAJIAN UMUM

Dalam sebuah acara Pelantikan pengurus MWC NU Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang tahun lalu (2018), setidaknya ada tiga poin penting yang dimauidhohkan Gus Baha’. Yang pertama bahwa Bid’ah tidak semua dholalah. Beliau berbicara panjang soal ini. “Saya akan (bicara) cerita tentang argumentasi Ilmiah, bahwa Ahlus-sunnah waljama’ah itu luarbiasa. Di Jogja saya banyak berteman dengan para professor, doctor, termasuk akademisi peneliti sosial. Mereka bertanya begini, “Pak Baha’ sampean baca banyak kitab dan referensi luas, tetapi kok tetap NU?” Katanya. Lalau saya jawab begini, “Problemnya apa sebagai NU?”. Biasanya mereka lalu mengutip sekian makalah. Kebetulan makalah itu profokatif. Dan siapapun yang baca makalah itu saya yakin menjadi tidak NU, tak jamin itu!
Kalau di jogja di satu penerbitan _yang saya termasuk di dalamnya_, pernah dibandingkan kitabnya Sayyid Muhammad “Mafahim Yajibu An-tusohah”. Dengan kitabnya bin-Baz. Judulnya “Hadzihi Mafahimuna”. Biasanya, kitab-kitab terjemahan wahabi itu cukup profokatif dan dengan narasi yang memang siapapaun yang nggak pernah mondok pasti tertarik.
Misalnya begini, tentang bid’ah “Wa iyyakum min muhdatsatil umur, fa inna kulla muhdasatin bid’ah, wa kulla bid’atin dhalalah Wa kullu dhalalatin fin naar”. Lalu beliau (Bin-baz) melanjutkannya dengan kalimat, “Haadza huwa Rasulullah, hakama bid’ah kullaha, dholalah. Wajarra as-safiyyu faqosama ila hasanatin wadholalatin, wa sayyi’atin”.
Jadi dengan narasi seperti itu, menjadi tahu bahwa Syafi’I (Imam Syafi’i) itu kurang ajar betul. Jadi dia (bin-Baz) berkata “Ini Rasulullah, yang mengatakan semua bid’ah itu dholalah, tapi syafi’I lancang dengan membagi bid’ah ada hasanah dan sayyi’ah. Ini Aneh, Rosulullah yang Nabi saja bilang satu, semua dholalah kok dia (Imam Syafi'i) bilang dua katanya. Memang diredaksikan begitu, di kitab itu “Jaro’a” kira-kira maknanya “nglamak” (lancang) atau berani. Sehingga orang pasti bertanya “Kenapa sih nggak ikut Rasulullah saja”. Dengan narasi seperti itu, Imam Syafi’I dibenturkan Rasulullah, ya pasti kalah.
Lalu kemudian Sayyid Muhammad dalam kitab abwabul faros dan beberapa kitabnya, beliau menyanggahnya dengan mengatakan “Jika makna bid’ah adalah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, itu salah besar” Lalu beliau cerita sekian bab. Termasuk yang diceritakan adalah ada seorang sahabat yang sholat dengan Rasulullah tidak pakai doa mainstrim. Yaitu ketika I’tidal, berkata; “Alhamdulillah hamdan katsiron mubarokan fih”. Lalu nabi bertanya? Siapa yang melafadzkan itu? Semua sahabat diam karena takut disalahkan. Tetapi apa yang dikatakan Nabi? “Tidak, saya tidak akan menyalahkan. Saya tadi melihat (itsna ‘asyaro malakan) 12 malaikat yang semuanya bergegas siapa yang menulis awwal”. Lalu sahabat tadi berkata, “Ha ana dza ya Rasulullah”.
Padahal kalimat ini (Alhamdulillah hamdan katsiron mubarokan fih) adalah satu kalimat yang Rasulullah sendiri tidak mengajarkan, bahkan Rasyulullah Isykal, kenapa ada kalimat itu. Tapi toh kemudian dibenarkan oleh Allah dan Rasulnya, min ghoiri sabqi ta’limin minhu (tanpa ada pelajaran dari beliau). Runtuhlah teori bahwa semua bid’ah dholalah, semua yang tidak pernah diajarkan dan dilakukan Nabi. Buktinya adalah bebera kali membenarkan yang tidak pernah diajarkan beliau. (Dan masih ada contoh yang lain, lebih lengkapnya simak videonya di link bawah)
Semua ini, suatu ilmu, setidaknya ilmu perdebatan bukan ilmu hakiki, karena kita tidak tahu, yang diterima dihadapan Allah itu yang mana?”
Poin selanjutnya (ke-2) adalah soal satu Kaidah atau argumentasi ilmiah yang belum pernah saya dengar sebelumnya selain dari Gus Baha’ yang berkaitan tentang faham Wahabi: “Kalimatun, sayakuunu bihal kaafiru musliman, sayakuunul mu’minu bihaa kaafiron”
كلمة سيكون بها الكافر مسلما سيكون الموءمن بها كافرا
“Kalimat tauhid itu menjadikan orang yang selama hidupnya kafir menjadi MUSLIM. maka menjadi aneh ketika ada aliran yang menganggap dengan kalimat itu pula menjadikannya Kafir”.

Kata Gus Baha’, “Ada kemandirian al-hujjatul ballighoh dalam diri kita sebagai ahlus-sunnah (NU). Begini misalnya: Kalimat Lailaha Illah adalah yang kalimat yang orang kafir delapan puluh tahun saja, kalau melafadzkan itu menjadi sooro mukminan. Ini kita tahlil, yang sudah muslim, hanya karena kalimat toyyibah justru menjadi kafir, ini kan madzhab yang aneh. Yang kafir puluhan tahun saja “ iyyan tahu maa qod salaf bihadzihil kalimah”. Kita ini hanya tahlilan ambek nyekel pathok (sambil pegang nisan) menjadi kafir juga karena Lailaha illah. Ini aneh”.
Kemudian, poin ke-tiga yang dimauidhohkan Gus Baha’ adalah kenapa ada tambahan An-Nahdliyyah setelah Ahlus Sunnah? “Di dalam terminology internasional itu, kalau ahlus-sunnah pokoknya yang tidak subbus shohabah (mencela sahabat). Sehingga Wahabi, Muhammadiyah, Ikhwan (nul muslimin) misalnya, masih tergolong ahlus-sunnah. Sebab, di media internasioanl kalau tidak ahlus-sunnah itu pasti syi’ah. Hanya itu saja perbandingannya. Jadi kalau Ikromus-Shohabah ya Ahlus sunnah, tetapi subbus shohabah, ya syi’ah”.
Problemnya adalah kita tidak ikut kelompok besar yang mainstrim di dunia internasional, karena mereka anti wasilah, anti tahlil. Sehingga di Indonesia (di NU) ditambahi (Ahlussunnah wal jama’ah An-Nahdliyyah). Yang kira-kira Kalau Gus Ghofur dan kawan-kawan, mungkin menambahinya islam Nusantara itu.”.
Transkrip : izzuddin abdurrahim adnan

ORANG NU WAJIB TAHU! : Tiga Argumentasi Ilmiah Untuk Membentengi dari Faham Wahabi
SELENGKAPNYA KLIK LINK DI BAWAH

1 komentar:

A call-to-action text Contact us