:::: MENU ::::
  • KAJIAN TAFSIR

  • KAJIAN UMUM


--izzuddin Abdurrahim adnan--
Kita akan sangat jarang menemui antar tokoh saling memuji satu dengan yang lain, apalagi tokoh yang bersebrangan pandangan, aliran maupun beda organisasi. Tak seperti tokoh-tokoh jaman dahulu. Misalnya yang terekam dalam sebuah buku novel sejarah yang berjudul DAHLAN. Kiai Ahmad Dahlan memuji dan menyatakan isi hatinya kepada Hasyim Asy’ari :
“Selama belajar agama di pondokan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, aku sempat bertemu Muhammad Hasyim Asy’ari. Menurut cerita, dia sudah bermukim di Mekah hampir dua tahun. Selain untuk menunaikan ibadah haji bersama istrinya, dia ingin bermukim beberapa tahun di Mekah untuk mendalami agama Islam. Usiaku tujuh tahun lebih tua darinya, sehingga dia memanggilku dengan sebutan Kang Darwis, sementara aku memanggilnya Dimas Hasyim. Dia pemuda yang sangat cerdas. Semangatnya mendalami ilmu-ilmu agama membuatku terkagum-kagum. Semakin hari aku semakin akrab dengannya. Kami berdua sering mendiskusikan banyak hal, baik yang berkaitan dengan ilmu agama yang kami dapatkan dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy maupun masalah-masalah umat Islam di Tanah Air. Kami berasal dari kultur masyarakat yang berbeda. Aku biasa hidup di kota, sementara dia dari pedesaan dan pesantren. Meskipun begitu, kami memiliki kesamaan pandangan ketika melihat kondisi umat Islam di Tanah Air.
“Rasa prihatin melihat kondisi umat Islam di Tanah Air membuat aku dan Hasyim Asy’ari menjalin kesepakatan bahwa sepulang dari Mekah nanti kami berdua harus berjuang untuk mengubah kondisi umat Islam sesuai dengan lingkungan masing-masing. Aku melakukan pembaharuan Islam di masyarakat perkotaan, yaitu Kauman Yogyakarta, sementara Hasyim Asy’ari melakukan pembaharuan dan pembenahan di lingkungan pesantren. Demikianlah, aku menjadikan hari-hariku di Mekah untuk menuntut ilmu bersama dengan Hasyim Asy’ari dan santri-santri lainnya, baik dari Tanah Air maupun negara lain.”
Ghiroh semacam ini, nampaknya ingin ditumbuhkan kembali guna mengikis perpecahan seperti yang dilakukan ustadz Adi Hidayat. Dia pemuda Muhammadiyah yang paling menonjol dalam hal kecerdasan, keilmuan Islam, penguasaan Qur'an dan kitab kuning, bisa dikatakan jauh di atas bila dibandingkan ustadz-ustadz Wahabi.
Sering, di dalam kajiannya, dia menyuruh jama'ahnya untuk belajar ngaji kepada ulama-ulama NU. Seperti Kiai Maimoen, Gus Najih Maimoen, Gus Ghofur Maimoen, Gus Qoyyum, Gus Mus dan Gus Ulil Abshar Abdala. Bahkan terhadap Gus Baha', dia menjulukinya "MANUSIA QUR'AN". Di waktu berbeda Gus Baha' juga berkomentar tentang berbagai aliran dan organisasi di Indonesia. Dia berkata "Organisasi yang sering saya doakan itu hanya dua, NU dan Muhammadiyah".
Karena saking seringnya Ustadz Adi Hidayat membahas dakwah Walisongo (yang dinafikan oleh ustadz-ustad Wahabi) serta membela amalan NU seperti wiridan bersama, salaman setelah sholat, qunut dan pujiannya kepada Ulama' NU, membuat orang-orang Wahabi tak lagi respek dan bahkan membencinya. Dia juga pernah bersebrangan dengan ustadznya salafi Wahabi, firanda soal Tauhid (Taqdir), Dia juga berselisih sangat runcing terhadap ustadz Radio/TV Rodja Ustadz Kholid Basalama.
Usut punya usut ternyata mertua dari Ustadz Adi Hidayat ngajinya kepada Gus Qoyyum, Ulama' NU.

USTADZ ADI HIDAYAT : "GUS BAHA' MANUSIA QUR'AN"
SELENGKAPNYA KLIK LINK DI BAWAH 

0 komentar:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us